Selasa, 03 Januari 2012

Ibnu Qayyim: Sehatkah Jiwa Anda??

Tulisan ini merupakan review dari buku ”Kesehatan Jiwa, Kajian Korelatif pemikiran Ibnu Qoyyim dan Psikologi Modern” karangan Abdul Aziz Abdullah Al Ahmad yang diterbitkan oleh penerbit Pustaka Azzam.

Buku ini memang memaparkan kajian korelasi antara Psikolog Islam (Pemikir Besar Islam di bidang Kejiwaan) Ibnu Qoyyim dan Para Psikolog Modern/Barat dan Timur. Parameter kesehatan dan kesakitan jiwa yang dipaparkan oleh psikolog Modern tidak pernah jelas. Semua masih dalam perdebatan. Jika ada hal yang pasti, maka itu sangat sedikit dan memerlukan pengecualian. Berbeda dengan ibnu Qoyyim yang memiliki parameter jelas mengenai kesehatan jiwa ini. Hal ini karena Ibnu Qoyyim memasukkan salah satu sisi krusial yang ditinggalkan para psikolog modern dalam setiap teori dan praktiknya, yaitu Aspek RUHANI.
Ada 11 tolok ukur bahwa seseorang itu dikatakan sehat atau tidak kejiwaannya: 

1. Ubudiyyah
Ibnu Qoyyim menjadikan Ubudiyyah sebagai ciri utama kebahagiaan dan prestise serta proteksi diri dari serangan musuh. Tujuan diciptakannya Makhluk adalah beribadah kepada Allah, yang merupakan ciri kesempurnaan cinta, kepatuhan, dan ketundukkan hamba-hamba-Nya kepada Allah. Konsekuensi ibadah adalah melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya serta mendapat balasan [pahala] dan siksaan ata perbuatan dunia.

Setiap anggota tubuh memiliki tanggung jawabnya terhadap Allah. Ibnu Qoyyim juga mengatakan, ”Konteks ’iyyaka na’budu’ dibangun di atas empat prinsip: mewujudkan cinta dan ridha kepada Allah dan Rasul-Nya dengan lisan, hati, perbuatan hati dan anggota tubuh.”

Ubudiyyah adalah mutiara kemanusiaan. Semakin meningkat ubudiyyah seorang manusia, maka tingkat kemanusiaannya pun naik.

2. Adil dan Seimbang
Ibnu Qoyyim berkata, ”Segala sesuatu yang ada dapat tegak dengan sifat adil. Orang yang menjadikannya sebagai pedoman hidup berarti telah memperoleh seluruh kebaikan.”. Beliau juga mengatakan bahwa ciri manusia terbaik adalah adil, tidak berlebih-lebihan, dan tidak mengikuti orang yang melampaui batas. Adil merupakan sikap seimbang antara dua kutub ekstrim (zhalim dan berlebih2an). Segala cobaan dan musibah yang menyerang dari sudut merupakan proteksi baginya. Seimbang dalam segala urusan merupakan sikap terbaik.

Contohnya adalah tentang makan dan tidur.

Allah Berfirman dalam Qs. Al-Araaf :13, ”Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.”
Disini kata Ibnu Qoyyim, manusia diarahkan untuk mengkonsumsi makanan dan minuman dengan kadar dan kualitas yang proporsional, sesuai dengan yang dibutuhkan tubuh, Jika tidak dipatuhi, maka hal itu dianggap berlebih2an dan dapat menimbulkan penyakit.

Mengenai tidur, beliau mengatakan, ”Tidur yang tidak secara proporsional (berlebihan atau kurang) dapat menimbulkan efek negatif lainnya, misalnya mudah emosi, kurang bernafsu, penyimpangan temperamen, kehilangan energi untuk berkonsentrasi dan bekerja, serta timbulnya berbagai penyakit bagi rohani dan jasmani.”

Berkaitan dengan itu, Muhammad Ustman menambahkan, ”Penerapan prinsip adil dan seimbang antara jasmani dan rohani pada tabiat manusia merupakan syarat mutlak pembentukkan kepribadian yang baik, yang menikmati kondisi jiwa yang sehat.”

3. Berkah
Berkah adalah memperoleh hasil dalam jangka waktu yang sangat cepat (dengan sedikit tenaga) serta memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat, atau mempergunakan kesempatan serta memfungsikan kemampuan dan keterampilan untuk mendapat ridha Allah. Singkatnya, berkah adalah proses menjadi baik bagi dirinya dan berguna bagi orang disekitarnya dengan menggunakan waktunya secara efisien.

Ibnu Qoyyim mengaitkan berkah dengan ketaatan, bahwa perbuatan maksiat dapat melenyapkan keistimewaan tersebut, ”Perbuatan maksiat dapat melenyapkan berkah umur, rezeki, ilmu, dan ketaatan. Singkatnya, perbuatan maksiat dapat melenyapkan berkah agama dan dunia. Oleh karena itu, tidak ada orang yang paling minim berkah umur, agama, dan dunianya daripada orang yang melakukan maksiat. Kelapangan rezeki, banyaknya amal kebaikan, dan umur yang panjang, tidak dapat diukur dengan hitungan bulan, tahun, namun diukur dengan berkah. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, umur merupakan masa hidup yang dijalani seseorang. Tetapi masa hidup itu tidak akan berarti jika ia berpaling dari Allah dan sibuk dengan yang lain. Kehidupan yang hakiki diukur dari sucinya hati dan jiwa. Jiwa hanya dapat hidup dengan mengenal, mencintai, beribadah, bertobat, merasa tenag dan dzikir, dan merasa nyaman ketika berada dekat dengan penciptanya. Orang yang kehilangan pola hidup seperti itu akan kehilangan seluruh kebaikan.”

4. Dzikir
Ibnu Qoyyim menyatakan, ”Dzikir memiliki seratus lebih manfaat, diantaranya : menghilangkan kekalutan dan kesedihan hati, mendatangkan perasaan bahagia dan senang, melapangkan dada, serta menghadirkan cinta (yang merupakan roh Islam, inti ajaran agama, dan seumber kebahagiaan serta keselamatan).”

Sayyid abdul Hamid menambahkan bahwa, ”Ketenangan jiwa yang diperoleh seorang mukmin dari dzikir merupakan kenyataan yang diketahui oleh jiwa orang-orang yang dirasuki cahaya keimanan. Jiwanya terasa tenang dan damai serta merasa tidak hidup sendirian di dunia.”

Dengan berdzikir, rasa aman akan datang dan rasa takut akan sirna, seolah olah rasa takut yang dialaminya nampak seperti sebuah ketenangan. Orang yang tidak pernah berdzikir akan selalu diselimuti rasa takut. Dengan ketenangannya, ia melihat semua rasa aman yang dinikmatinya adalah ketakutan.

5. Jujur
Berbicara tentang Jujur, Ibnu Qoyyim menyatakan, ”Tidak ada sifat yang paling berharga bagi seseorang dari kejujurannya kepada Tuhan dalam semua hal, disamping kejujurannya dalam niat dan perbuatan, karena kebahagiaan tergantung pada niat dan perbuatan. Niat yang benar terletak pada ketegasan dalam berniat. Jika niat telah benar, maka hanya tinggal memperbaiki perilaku, yaitu jujur dalam tindakan. Kebulatan tekad dapat menghindarkan diri dari keinginan dan obsesi yang melemah, sementara tindakan yang jujur (benar) dapat menghindarkan diri dari rasa malas dan semangat yang melemah.”

Lanjut menurut beliau, orang sepatutnya jujur dalam ucapan, perbuatan dan keadaannya. Berlaku jujur dapat mengaktifkan sistem imunitas tubuh dan jiwa, sedang berbohong justru akan memperlambat dan melemahkan sistem imunitas tsb. Oleh karena itu, dokter, psikiater, dan konsultan pendidikan menyerukan untuk berlaku jujur dalam ucapan dan perbuatan. Mereka mengklasifikasikan sikap jujur sebagai ciri jiwa yang sehat, sedangkan sikap bohong sebagai salah satu faktor yang dapat melemahkan kesehatan jiwa dan fisik.

6. Ketenangan dan Kebahagiaan Jiwa
Ibnu Qoyyim mengklasifikasikan ketenangan ke dalam beberapa jenis, yaitu tauhid, akhirat, tobat dan taat. Beliau mengatakan bahwa, esensi ketenangan yang dapat mendamaikan jiwa adalah : mengenal Nama dan Sifat Allah, sifat sempurna hingga ciri yang diwartakan-Nya sendiri dan yang disampaikan oleh para rasul. Kemudian diterima dengan lapang dada, patuh dan suka cita. Inilah jenis ketenangan yang telah menjadi prinsip dasar iman. Kemudian ditambah dengan ketenangan yang diperoleh ketika mendengar berita tentang peristiwa yang akan terjadi pasca kematian serta keadaan yang akan terjadi pada hari kiamat dan seolah-olah ia melihatnya dengan mata kepala sendiri.

Ketenangan ihsan adalah ketenangan yang didapatkan dari perintah Allah sebagai manifestasi kepatuhan, keikhlasan dan ketulusan; tidak melaksanakan perintah_nya karena memiliki tujuan tertentu, hawanafsu, dan taklid. Ciri-cirinya adalah, jiwa gelisah (karena kemaksiatan yang dilakukannya) dan tidak merasa tenang (karena tidak mau bertobat). Hal itu mudah bagi jiwa jika mengetahui bahwa kenikmatan dan kebahgiaan dapat dirasakan ketika bertobat.”

7. Ridha
Menurut Ibnu Qoyyim, ridha artinya sikap jiwa yang menerima dan tidak membenci. Ridha mencakup ridha dengan Ketuhanan dan Keesaan Allah, ridha terhadap Rasulullah dan patuh kepadanya, serta ridha dengan Islam dan berserah diri secara bulat kepada Islam. Jalan menuju keridhaan sangat pendek dan singkat, namun penuh pendakian dan halang rintang. Jalan itu menuntun individu mencapai tujuan mulia dan membuat jiwa menjadi bersih, sehingga terciptalah rasa bahagia (ridha) terhadap Tuhannya.”

”Ridha dengan takdir yang telah ditentukan merupakan faktor kebahagiaan hidup, sedangkan sikap membenci takdir yang telah ditentukan merupakan faktor kesengsaraan hidup.”

Kamal Musri menambahkan bahwa setiap individu seharusnya membuat dirinya merasa ridha terhadap semua keadaan, agar dirinya terhindar dari perasaan benci, kesal, dengki, jemu, bosan, lemah dan pesimis. Ridha merupakan proses psikologi yang sadar dan sumber kebahagiaan serta ciri jiwa yang sehat. Individu-individu yang ridha dengan hidupnya akan mempunyai jiwa yang tulus, lebih ceria, lebih energik, dan jarang menderita penyakit fisik.”

Ridha tidak dimanifestasikan dengan sikap santai dan pasif, tetapi direalisasikan dengan komitmen yang tinggi dari individu yang menginginkan keridhaan dan jiwa yang bersih, seperti satu kesatuan yang tidak dapat dipisah.

Ibnu Qoyyim menjelaskan bahwa ridha bukanlah respon balik dasri sebuah peristiwa atau kondisi (maksudnya ridha itu terjadi setelah aksi, yaitu ridha terhadap hidup), tetapi ridha memang ada sebelum dan sesudah aksi. Ridha sebelum aksi yaitu menentukan arah dan tujuan, yang dapat dilakukan dengan iman dan ridha terhadap Islam. Ridha setelah aksi adalah ketika beraktivitas (gagal, berbuat kekeliruan, atau tertimpa musibah), yang pada saat itu respon balik yang muncul adalah sikap menerima dan tidak membenci, sambil memikirkan rencana yang lebih sempurna sengan etos kerja yang lebih tinggi.

8. Etiket
Etiket adalah ekspresi sikap pembawaan diri dalam bentuk kemampuan dan energi ke dalam bentuk aksi. Tingginya etiket merupakan indikator kebahgiaan dan kesuksesan seseorang, sementara minimnya etiket merupakan indikator ketidakbahagiaan dan kegagalan seseorang. Ibnu Qoyyim membagi etiket menjadi 3 : Kepada Allah, Rasulullah dan sesama manusia.

Etiket kepada Allah artinya melaksanakan ajaran agama dan memegan teguh syariat agama baik secara ekspilisit maupun implisit. Etiket terhadap rasul ialah bersikap menerima sepenuh hati kerasulannya, patuh terhadap ajaran dan terbuka hatinya untuk menerima hadits atau kabar yang datang darinya. Sedang etiket kepada sesama makhluk, artinya memperlakukan orang lain secara proporsional, sesuai perbedaan tingkat sosial mereka, karena setiap tingkatan sosial memiliki etiket sendiri.

9. Saling Membantu dan Melengkapi
Sikap saling membantu antar sesama muslim merupakan kebutuhan dasar dalam mengisi kekurangan diri sendiri dan orang lain, sehingga terwujudlah kebahagiaan dan kesehatan psikologi serta sosial yang selama ini diidam-idamkan oleh setiap masyarakat.

Ibnu Qoyyim menambahkan, persamaan bagi kaum beriman ada beberapa bentuk : persamaan dalam materi, persamaan dalam kedudukan, persamaan dalam fisik dan pelayanan, persamaan dalam saran dan bimbingan, persamaan dalam doa dan ampunan, serta persamaan dalam penderitaan. Persamaan ini dipengaruhi oleh kadar keimanan. Ketika iman semakin melemah, maka persamaan itu turut melemah, jika makin menguat, maka persamaan itu pun turut menguat.

Berguna atau tidaknya individu bagi dirinya sendiri dan orang lain, sangat berkaitan dengan kondisi fluktuatifnya iman.

10. Optimisme
Optimis adalah sikap mental yang memberikan motivasi serta energi kepada jiwa. Kata Ibnu Qoyyim, ”Sikap optimis dapat menimbulkan antusiasme, kegembiraan, kekuatan, harapan, keberanian, pengendalian emosi, motivasi (untuk memohon pertolongan dan tawakal kepada Allah), dan kebahgiaan jiwa (yang menguatkan cita-cita)

Pakar psikologi menyatkan optimisme tertinggi adalah harapan sembuh ketika sakit, harapan berhasil ketika gagal, harapan menang ketika kalah, dan harapan dapat keluar dari bencana atau musibah. Sikap optimis dalam kondisi seperti itu merupakan proses psikologi yang sadar, yang menimbulkan perasaan ridha dan mampu memikul, harapan, percaya diri, serta kekuatan.

Sedang sikap pesimis identik dengan keputusasaan, ketidakmampuan, kemandulan, dan sikap negatif lainnya, dikategorikan sebagai ciri jiwa yang mengalami gejala gangguan jiwa.

Dalam Islam, sikap optimis sangat berkaitan dengan sikap percaya kepada Allah dan ridha dengan takdir.

11. Terobsesi pada Akhirat

Ibnu Qoyyim menyatakan, ”orang yang paling cerdas adalah orang yang lebih mengutamakan kenikmatan dan kebahagiaan akhirat yang abadi daripada dunia yang fana. Sedangkan orang yang paling bodoh adalah orang yang menjual kebahagiaan kehidupan akhirat yang abadi dengan kesenangan duniawi yang fana”

Sikap tidak terobsesi pada dunia timbul karena kesadaran akan dekatnya ajal dan singkatnya hidup di dunia. Sikap ini lebih mempunyai nilai positif bagi kesehatan jiwa, karena sikap tersebut dapat memotivasi individu untuk menghadapi hidup, menggunakan kesempatan –yang berlalu secepat awan- dengan sebaik-baiknya, cepat menutup lembaran catatan amal, mencari seseuatu yang hilang, serta menimbulkan sikap zuhud terhadap dunia dan termotivasi untuk mendapatkan akhirat.”

sumber: deraisa.multiply.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar