Sekitar seribu tahun lalu lahir seorang tokoh yang kemudian menjadi pionir dalam bidang kedokteran modern. Namanya Ibnu Sina. Di Barat tokoh ini lebih dikenal dengan nama Avicenna. Ia bukan saja ahli mengobati berbagai penyakit, tapi juga seorang filsuf Islam yang sangat terkenal.
Nah, kini dari Bantul Yogyakarta telah muncul "Ibnu Sina" yang lain.Namanya Djaka Sasmita, seorang ilmuwan jenius yang rendah hati tapijuga mahir mengobati berbagai penyakit. Sebagai ilmuwan, Djaka berhasil menelorkan karya-karya inovatif yang bermanfaat bagi kepentingan orang banyak. Sebagai "dokter", ia telah berhasil menyembuhkan ribuah orang.
Dalam mengobati penyakit, Djaka menggunakan metode terapi Gelombang Non Elektro Magnetik (GNEM). Gelombang ini dipancarkan dari komputer yang programnya dirancang sendiri oleh Djaka, demikian panggilan akrabnya. Dengan metode ini suatu penyakit dapat dideteksi secara lebih dini dan sangat akurat, sekaligus memberikan terapi secara tepat tanpa akibat samping.
Seorang bernama Bieke Rubindra setelah diperiksa dengan GNEM terdeteksi mengindap penyakit hipertiroid dan kanker getah bening. Karena tidak merasa ada keluhan, ia tak percaya. Dua tahun kemudian ia sakit dan setelah diperiksa di laboratorium medis, ia dinyatakan sakit kanker getah bening. Terbukti, GNEM mampu mendeteksi penyakit 2 tahun lebih cepat.
Dr Justiar Gunawan dari BPPT, anaknya terserang kanker otak dan leukemia. Dokter sudah angkat tangan. Kini berobat ke Djaka, keadaannya berangsung-angsur membaik. "Tinggal terapi lewat telpon saja," katanya.
Masih ada cerita lain. Amaliyah Madiyan, dokter sekaligus dosen di Fakultas Kedokteran UGM ini terserang penyakit jantung. Akibatnya, ia merasa cepat letih. Kemudian ikut terapi di Isiteks (klinik kesehatan milik Djaka) selama 25 menit. Hasilnya, setelah ikut terapi 4 kali, kini penyakit jantung sembuh dan ia merasa segar kembali.
Anak Jenius
Djaka Sasmita adalah anak keempat dari Djogo Pertiwi (alm), seorang juru kunci makam raja-raja Mataram Imogiri Bantul Yogyakarta. Terlahir 47 tahun lalu, Djaka kecil menempuh pendidikan SD dan SMP di Imogiri, lalu SMA di Bantul. Begitu lulus ia kemudian melanjutkan kuliah di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Gadjah Mada (UGM) jurusan Kimia. Dasar anak cerdas, sejak sekolah dasar Djaka selalu meraih juara, bahkan sewaktu kuliah sempat lompat dari tingkat pertama langsung ke tingkat tiga. Sebuah prestasi yang hanya dimiliki tiga dari ribuan
mahasiswa seangkatannya di almamaternya. "Ia memang mempunyai kecerdasan di atas teman-teman yang lain," kata Sabirin Mastjeh, kawan kuliah Djaka.
Namun justru sejak kenaikan tingkat itu ia didera kegelisahan. Djaka tidak menemukan apa yang dicarinya. Belajar di perguruan tinggi baginya hanya membuang waktu. Sebab, yang dipelajari hal-hal yang tidak praktis dan menjemukan. Hukum-hukum yang diajarkan di kampus menurutnya tidak kuat dan banyak kelemahan. Djaka merasa tak bakal mencapai cita-citanya sebagai penemu yang dapat memberi sumbangan bagi dunia pengetahuan, apabila terus berkutat dengan kuliahnya. Djaka pun jadi malas kuliah dan memilih sibuk melakukan penelitian-penelitian sendiri. Hanya atas saran orang tua dan beberapa pihak, Djaka bersedia melanjutkan kuliahnya. Tetapi belum lagi lulus, ia sudah diminta mengajar di almamaternya. Bahkan pada tahun l977 oleh ketua program Matematika, Djaka diminta mengajar para dosen Matematika, Fisika dan Kimia. Uniknya, tiga tahun kemudian Djaka baru meraih gelar sarjana.
Gelar doktornya diselesaikan di Belanda, yakni di bidang Thermodinamika di Universitas Utrecht (Belanda), tempat di mana Aristoteles pernah belajar. Di Utrecht Djaka lebih banyak mengikuti
berbagai seminar dan diskusi ketimbang kuliah di ruang kelas. Di situlah ia memaparkan teori-teori temuannya. Mulanya banyak ilmuwan menentangnya. Namun setelah Djaka sedikit menjelaskan, mereka bisa
menerima. Bisa jadi, itu karena mereka tidak mampu mematahkan teori-teorinya Djaka. Termasuk salah seorang profesor pembimbingnya sendiri akhirnya "menyerah". "Ilmu saya tidak cukup untuk mengajari Anda, sayalah yang harus belajar pada Anda", kata Sang Profesor.
Praktis Djaka tidak banyak mengikuti kuliah selama di Belanda. Dia hanya menghabiskan waktunya untuk belajar sendiri dan berkunjung ke berbagai perpustakaan. Di sinilah Djaka menemukan sebagian dari
khazanah keilmuan Islam jaman dulu yang dicuri orang-orang Barat. "Diperpustakaan Elschecunde yang terletak di jalan Padualan, ada beberapa karya ilmuwan Muslim dalam tulisan aslinya," kenangnya.
Dari situ pula Djaka mengetahui bahwa dalil sinus cosinus itu penemunya adalah ilmuwan Muslim. Dalam mengembangkan ilmunya kemudian, Djaka merasa cukup dengan al-Qur'an saja. "Al-Quran ini sudah lengkap kandungannya, tinggal kita baca, tambang dan olah saja", kata Djaka yang pernah nyantri di salah satu pesantren di Jawa Timur itu. Hal ini dibuktikannya, misalnya pada ayat nuurun `alaa nuurin yang artinya `cahaya di atas cahaya' dipahaminya bahwa cahaya itu bertingkat-tingkat. Berdasarkan ayat ini, Djaka berhasil meracik berbagai peralatan medis yang memiliki kecepatan berlipat dibanding yang sudah ada.
Misalnya Alat Laju Endap Darah (LED), dapat bekerja sepuluh kali lebih cepat dari peralatan biasa dengan kemampuan periksa hingga 64 pasien sekaligus. Temuan lainnya adalah alat test DNA yang di rumah sakit bisa memakan waktu beberapa hari, di klinik Djaka cukup dengan waktu setengah menit saja.
Untuk menularkan ilmunya, pada tahun 1992 Djaka mendirikan Pesantren Terpadu ISITEKS (Islam, Ilmu, Teknologi dan Seni). Misinya memberikan bekal Islam, ilmu, teknologi dan seni yang handal bagi para
santrinya. Mottonya, "mengejar IPTEK bersumber dari al-Qur'an". Ini memang bukan pesantren biasa, sebab kebanyakan santrinya adalah ilmuwan dari berbagai disiplin bidang ilmu seperti kedokteran,
komputer, biologi, pertanian, kimia, fisika dan lainnya. Karena itu di ISITEKS ada beberapa pusat kajian. Misalnya seperti Pusat Kajian Kimia, Pusat Kajian Biologi, Pusat Kajian Teknologi
Komputer, Pusat Kajian Kesehatan dll. Sebulan sekali, para santri Djaka datang untuk melakukan temu bidang multi disipliner. Masing-masing mengungkapkan perkembangan penelitian mereka dan Djaka memberikan arahan-arahan atau menunjukkan ketika seorang santri mengalami kebuntuan dalam penelitiannya. Kadangkala terjadi diskusi antar bidang dan Djaka menjembatani gap antar mereka
dan menjadi penengahnya sehingga tak jarang berhasil memadukan beberapa penemuan.
Beberapa santrinya kini telah menghasilkan karya yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Misalnya, Tebu Rendemen Tinggi. Bermula dari permintaan seorang kepala pabrik gula yang mengeluh rendahnya
rendemen tebu (6%). Maka Pusat Penelitian Pertanian ISITEKS meneliti dan akhirnya menghasilkan benih tebu yang tak berbunga sehingga mampu menghasilkan rendemen tinggi hingga 24%. Hebatnya, penanamannya tak perlu dengan mencangkul dan memupuk. Cukup ditebar, dia akan tumbuh subur.
Penemuan lain adalah alat Laju Endap Darah (LED). Dr Nur Asikin, seorang dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, di bawah bimbingan Djaka berhasil menemukan alat yang memiliki kecepatan 10
kali lipat dari alat yang sudah ada yakni dari 120 menit menjadi hanya 10 menit. Alat ini juga dapat digunakan sekaligus untuk 64 pasien.
Tentu saja dengan beberapa keberhasilan itu, mengundang banyak orang untuk menjadi santri. Tapi hanya sedikit yang diterima. "Saya ingin memastikan bahwa para santri belajar dengan niat yang ikhlas untuk memberikan sumbangan pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat untuk ummat. Saya ingin menjaga supaya aktifitas penelitian yang ada tidak dikotori oleh amal yang tidak shalih." tegas Djaka.
Pernah ada tawaran untuk menjadikan ISITEKS menjadi sebuah proyek pendidikan dengan menjanjikan dana ratusan juta rupiah, namun ditolak oleh Djaka. "Karena saya melihat ada kepentingan materi di dalamnya" katanya. "Lebih baik sedikit tapi halal," kata Djaka seraya menambahkan bahwa apa yang dilakukannya lebih pada pertimbangan akhirat.
Kecewa dengan Pendidikan
Menurut Djaka, pendidikan sebaiknya diselenggarakan untuk menjawab permasalahan di masyarakat dan memperhatikan tujuan pokoknya, yakni mau dijadikan apa dan untuk bisa apa sang siswa. Tentu saja tanpa mengabaikan ilmu-ilmu pendukung. Dengan demikian penyelenggaraan pendidikannya dapat lebih terpilih. Artinya, pelajaran yang diberikan adalah yang sesuai dengan minat setiap siswa dan kebutuhan masyarakat. Sehingga tak ada pelajaran yang diulang-ulang dan tidak terpakai di kemudian hari seperti yang banyak terjadi kini. "Yang menjadikan bangsa kita mundur adalah karena kita sering belajar hal-hal yang sebenarnya tidak perlu," kata Djaka. Atas dasar itulah, Djaka kemudian menarik keluar Ida Saraswati, putri pertamanya dari SMU Negeri. Putrinya itu kemudian dididik sendiri.
Demikian juga dua adiknya. Hasilnya, enam bulan setelah keluar dari sekolah, Ida sudah bisa membuat alat pemeriksa gelombang otak atau EEG (Electro Encepalography). Sekarang, di usianya yang masih 19
tahun, Ida sudah pintar membuat chip komputer, dari komponen dasarnya sampai menjadi IC. Sementara bahasa programnya diracik oleh adiknya, Sikla Istiningsih (16) dan miniaturisasinya dikerjakan oleh anak ketiga, Dika Sistrandari (14). "Apabila sekolah di luar, sampai lulus doktor pun belum tentu dia bisa membuat alat-alat tersebut," tandas Djaka meyakinkan, tanpa kesan bangga diri. (Bachroni)
sumber: Majalah Suara Hidayatullah : Februari 2002