Oleh : Muhaimin Iqbal
Banyak cara untuk melihat daya beli emas atau Dinar, dan statistik untuk ini tersedia luas yang disediakan oleh lembaga-lembaga dunia seperti datanya World Bank. Dari data tiga puluh tahun terakhir yang dikumpulkan mereka ini, kita bisa melihat ternyata meskipun harga emas atau Dinar lagi rendah-rendahnya kini - tetap memiliki daya beli yang kuat terhadap benda riil kebutuhan manusia. Daya beli emas tetap kuat untuk komoditi yang renewable maupun non-renewable.
Untuk yang renewable saya ambilkan data harga pisang, dan yang non renewable saya ambilkan dari data minyak mentah. Hasilnya menjadi grafik dibawah.
Bila harga pisang kita bagi harga emas, demikian pula dengan harga minyak dibagi dengan harga emas – maka kita akan memperoleh data daya beli emas selama tiga puluh tahun terakhir.
Bila pada tahun 1985 untuk membeli 1 ton pisang dibutuhkan emas seberat 0.86 troy ounce, saat ini tiga puluh tahun kemudian – 1 ton pisang tetap bisa dibeli dengan 0.86 troy ounce emas. Untuk harga minyak malah emas jauh lebih perkasa, bila pada tahun 1985 diperlukan 0.09 troy ounce untuk membeli 1 barrel minyak, kini hanya dibutuhkan kurang dari separuhnya atau hanya 0.04 troy ounce.
Dari grafik yang pertama di atas kita juga tahu bahwa dibandingkan emas dan minyak, harga pisang cenderung stabil dengan menunjukkan trend kenaikan yang konsisten. Ini terjadi karena harga komoditi seperti pisang relatif bebas dari spekulasi dan sentimen pasar, konsistensi kenaikan harga lebih disebabkan oleh kenaikan demand dan inflasi secara umum.
Sama-sama komoditi pertanian, pisang bahkan jauh lebih stabil kenikan harganya dibandingkan beras. Beras karena dipersepsikan sebagai salah satu kebutuhan bahan pokok pangan dunia, mengundang spekulan harga dan sentimen pasar pada pergerakan harganya. Jadi perilaku harga beras ini mirip dengan harga minyak.
Ketika terjadi krisis financial global tahun 2008, harga minyak dan harga beras di pasaran internasional melambung tinggi tetapi tidak dengan harga pisang.
Grafik harga-harga komoditi selama tiga puluh tahun tersebut menyiratkan banyak hal untuk kita, antara lain bahwa daya beli emas terbukti tetap tangguh selama tiga puluh tahun terakhir – termasuk ketika harganya lagi rendah seperti saat ini.
Kita juga bisa belajar bahwa komoditi yang tidak dipersepsikan sebagai bahan kebutuhan pokok – justru memiliki trend kenaikan harga yang lebih stabil, karena tidak mengundang spekulan harga untuk mempermainkannya dan relatif bebas dari pergerakan sentimen pasar. Ini bisa menjadi pertimbangan bagi yang ingin terjun ke sektor riil seperti pertanian. InsyaAllah.
Banyak cara untuk melihat daya beli emas atau Dinar, dan statistik untuk ini tersedia luas yang disediakan oleh lembaga-lembaga dunia seperti datanya World Bank. Dari data tiga puluh tahun terakhir yang dikumpulkan mereka ini, kita bisa melihat ternyata meskipun harga emas atau Dinar lagi rendah-rendahnya kini - tetap memiliki daya beli yang kuat terhadap benda riil kebutuhan manusia. Daya beli emas tetap kuat untuk komoditi yang renewable maupun non-renewable.
Untuk yang renewable saya ambilkan data harga pisang, dan yang non renewable saya ambilkan dari data minyak mentah. Hasilnya menjadi grafik dibawah.
Bila harga pisang kita bagi harga emas, demikian pula dengan harga minyak dibagi dengan harga emas – maka kita akan memperoleh data daya beli emas selama tiga puluh tahun terakhir.
Bila pada tahun 1985 untuk membeli 1 ton pisang dibutuhkan emas seberat 0.86 troy ounce, saat ini tiga puluh tahun kemudian – 1 ton pisang tetap bisa dibeli dengan 0.86 troy ounce emas. Untuk harga minyak malah emas jauh lebih perkasa, bila pada tahun 1985 diperlukan 0.09 troy ounce untuk membeli 1 barrel minyak, kini hanya dibutuhkan kurang dari separuhnya atau hanya 0.04 troy ounce.
Dari grafik yang pertama di atas kita juga tahu bahwa dibandingkan emas dan minyak, harga pisang cenderung stabil dengan menunjukkan trend kenaikan yang konsisten. Ini terjadi karena harga komoditi seperti pisang relatif bebas dari spekulasi dan sentimen pasar, konsistensi kenaikan harga lebih disebabkan oleh kenaikan demand dan inflasi secara umum.
Sama-sama komoditi pertanian, pisang bahkan jauh lebih stabil kenikan harganya dibandingkan beras. Beras karena dipersepsikan sebagai salah satu kebutuhan bahan pokok pangan dunia, mengundang spekulan harga dan sentimen pasar pada pergerakan harganya. Jadi perilaku harga beras ini mirip dengan harga minyak.
Ketika terjadi krisis financial global tahun 2008, harga minyak dan harga beras di pasaran internasional melambung tinggi tetapi tidak dengan harga pisang.
Grafik harga-harga komoditi selama tiga puluh tahun tersebut menyiratkan banyak hal untuk kita, antara lain bahwa daya beli emas terbukti tetap tangguh selama tiga puluh tahun terakhir – termasuk ketika harganya lagi rendah seperti saat ini.
Kita juga bisa belajar bahwa komoditi yang tidak dipersepsikan sebagai bahan kebutuhan pokok – justru memiliki trend kenaikan harga yang lebih stabil, karena tidak mengundang spekulan harga untuk mempermainkannya dan relatif bebas dari pergerakan sentimen pasar. Ini bisa menjadi pertimbangan bagi yang ingin terjun ke sektor riil seperti pertanian. InsyaAllah.
(sumber: geraidinar.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar