Senin, 28 Maret 2011
Ayam (Jangan) Mati di Lumbung Padi
Saya sering menerima masukan bernada kritik bahwa menyimpan emas termasuk kategori menimbun harta, sementara menimbun harta itu dilarang karena membuat harta tak beredar untuk menggerakkan ekonomi, dan ujungnya dikhawatirkan memiskinkan sebagian masyarakat. Islam melarang penimbunan harta, tidak ada keraguan.
Jawaban awal yang bisa dikedepakan untuk hal ini sebenarnya adalah adanya perintah zakat, anjuran infaq, shadaqah dan wakaf harta. Islam mengatur ini karena pasti selalu ada bagian harta kita, atau selalu ada sebagian masyarakat, yang mendiamkan hartanya. Maka zakat, infaq, shadaqah, wakaf (juga qardun hasan/pinjaman baik – pinjaman tanpa imbal hasil apapun, dan semata-mata untuk tujuan menggerakkan ekonomi masyarakat) adalah semacam ‘flushing’ di peredaran darah ekonomi, agar harta macet di simpul arteri bisa berjalan kembali.
Dengan mekanisme ini, ekonomi menjadi seimbang kembali, dan pihak-pihak hepi. Terangkat derajat dan kesejahteraannya bersama. Selalu ada gap antara yang miskin dan yang kaya, tapi jaraknya tipis saja. Pada jaman Umar ibn Khattab dan Umar bin Abdul Aziz tercatat, level ekonomi terbawah terkikis habis, sehingga sulit salurkan zakat, bukan karena tak ada muzakki, tapi justru tak ada mustahik. Level ekonomi menengah tetap ada, tapi mereka bukan objek penerima zakat dan jaminan negara. Sehingga di masyarakat, bagian piramida terbawah hilang. Jumlah terbesar ada di level menengah, dan sebagian kecil di level atas.
Bandingkan dengan fakta yang ada di masyarakat sekarang. Menurut Ust. Dr. Irfan Syauqi Beik, potensi zakat Indonesia Rp 100 Trilyun per tahun (dunia : Rp 6 ribu Trilyun), baru terkumpul 1,5% – nya atau hanya Rp 1,5 Trilyun. Angka ini jelas belum mampu menjadi solusi kemiskinan dan pengembangan taraf kehidupan separuh lebih penduduk negeri ini yang berada di bawah garis kemiskinan. Hasil litbang Kompas yang dikutip geraidinar.com menyebutkan penduduk miskin dengan pengeluaran USD 2 – 4 per hari berjumlah 59,24% atau 146,3 juta jiwa. Ini mendekati angka World Bank yang menyebut angka 170 juta jiwa, dan 3 kali lipat lebih dibandingkan angka versi pemerintah yang meng-klaim ‘hanya’ 30 juta penduduk miskin.
Apakah memang menyimpan emas termasuk menimbun harta? Jika kewajiban ziswaf ditunaikan dan menjadi kesadaran kolektif sehingga potensi sebesar Rp 100 Trilyun per tahun di negeri ini benar-benar dapat digalang, menurut saya tidak ada celah untuk saling menyalahkan. Itu baru tentang zakat, PR pertama kita.
Ada hal lain, seringkali muncul desakan pertanyaan berikutnya : “Harta masyarakat harus lebih banyak mengalir lewat lembaga keuangan dan perbankan, agar ekonomi bisa bergerak lebih cepat. Jika menyimpan emas, ini tak terjadi.”
Saya harus tanya balik untuk memastikan yang bertanya tahu keterhubungan langsung jumlah dana yang kita tabung dengan produktivitas ekonomi. Jika kita menabung atau menyimpan sejumlah uang di bank, berapa dari jumlah itu yang akan mengalir untuk membiayai roda ekonomi sehingga menyebabkan pertumbuhan?
Sekitar 10%-15% jika Anda tabung di bank konvensional.
Atau mencapai 70% jika Anda tabung di bank syariah.
Saya mesti bilang Anda yang menyimpan uang jutaan bahkan milyaran rupiah di bank-bank konvensional sebagai orang yang dzalim yang merugi, apalagi jika tak keluarkan zakatnya. Dzalim karena uang itu kecil sekali yang menetes ke level ekonomi di bawah untuk jadi modal usaha dan lainnya, dan inilah sebenarnya hakikat menimbun harta. Rugi karena return-nya tak memadai, kalah dari laju inflasi : naik 6% – 8% per tahun saja, melawan inflasi yang mencapai rata-rata 10% (6% inflasi umum dan 12% inflasi kebutuhan pokok). Berdosa pula karena tak tunaikan zakat. Lebih-lebih tak barakah (bertambah) karena tak keluarkan shadaqah.
(Untuk diketahui, masyarakat kita juga masih ‘tak adil’ dalam berzakat. Mereka sibuk bertanya nishab-haul zakat hanya ketika simpanannya emas, padahal tabungan, deposito dan simpanan lainnya di bank juga adalah objek zakat)
95% dari total uang beredar di muka bumi digulirkan, digandakan segelintir pihak, menciptakan gelembung uang yang semu di sektor keuangan, bukan di sektor riil yang berarti memperbesar produksi untuk mengimbangi konsumsi.
Maka sebetulnya sungguh aneh, di tengah melesatnya IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan), mengalirnya Hot Money dari luar Indonesia ke bursa semenjak pertengahan 2010, kemudahan memperoleh kredit (konsumtif) di tengah masyarakat, Indonesia sendiri terancam de-industrialisasi. Sinyal kekhawatiran ini dikirim sendiri oleh Bank Indonesia, berikut dampaknya : turunnya nilai tambah industri nasional, tergerusnya aktivitas perekonomian, pengangguran dan kemiskinan.
Banyak sekali fakta negatif diluar sana. Bayangkan, non-productive loan, semacam kredit usaha yang telah disetujui, parkir sebesar puluhan trilyun di bank. Ini terjadi juga di banyak negara, terutama Amerika. Kredit itu seharusnya mengalir menjadi tambahan modal di sektor industri untuk menggerakkan ekonomi, tapi tak jadi, karena kekhawatiran akan resiko usaha, dan penerima kredit merasa lebih untung dan pasti mendapatkan keuntungan (berupa bunga) dengan cara membuat dana itu parkir di bank. Atau di-investasikan di sektor keuangan, bukan di sektor riil.
Di sisi lain, pengusaha kecil sulit sekali mendapatkan dana pinjaman. Padahal mereka sangat membutuhkannya untuk perluasan usaha, ekstensifikasi market dan penambahan tenaga kerja. Melihat dua fakta diatas, sungguh tak adil. Situasi ini disebabkan oleh rendahnya dukungan sektor perbankan dalam pemberian kredit ke sektor industri. Fokus mereka masih di sektor jasa keuangan, yang tak berhubungan langsung dengan penyerapan tenaga kerja dan tersedianya produk yang murah di pasar.
Selama 2010, pertumbuhan industri hanya 4%, tertinggal dari pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6%. Angka pengangguran bertambah. Di pasar, pelaku usaha lebih mudah dan murah memperdagangkan barang impor (terutama dari Cina) daripada memperjualbelikan hasil industri dalam negeri yang justru lebih mahal dan tak terjangkau harganya oleh pembeli. Cina dan India, dua negara yang sama potensinya (persentase kapasitas tersimpan) dengan Indonesia dalam hal sumber daya manusia/tenaga kerja adalah dua negara yang mampu menyeimbangkan kemampuan produksinya daya beli pasar. Sementara Indonesia, seperti diakui Menkeu pada awal dilantiknya, 70% aktivitas ekonominya digerakkan oleh sektor konsumsi.
Maka sebetulnya persoalan tak sesederhana ketika kita melontarkan ‘tuduhan’ bahwa menyimpan emas berarti telah menginisiasi mandeg-nya perekonomian.
Kesadaran ber-zakat, infaq dan shadaqah masyarakat masih sangat rendah (meski terus meningkat tiap waktu), di sisi lain kebijakan perbankan yang tak mendukung sektor riil, adalah dua sebab yang paling sistemik menyebabkan banyak persoalan ekonomi.
Masyarakat punya logika dan pertimbangan sendiri ketika memutuskan apakah menyimpan emas ataukah tabungan untuk keperluan penyelamatan asset pribadi.
Mereka akan memilih yang terbaik dari sisi proteksi untuk melindungi simpanan dari ancaman inflasi. Mereka memerlukan simpanan yang melindungi Rupiah yang setiap saat bisa tak bernilai karena dibenamkan depresiasi nilainya terhadap mata uang asing. Mereka mementingkan likuiditas (kemudahan dalam mencairkan ketika memerlukan dana tunai) saat ada kebutuhan mendadak ataupun perlu tambahan modal usaha.
Semua jawabannya ada pada simpanan emas. Bukan simpanan di produk perbankan.
Wallahua’lam
Penulis: Endy J. Kurniawan, Pengarang Buku "Think Dinar"
sumber: http://endyjkurniawan.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar